Desa Abbanuangnge Kecamatan Maniangpajo merupakan salah satu desa yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Maniangpajo. Namun, untuk penulisan nama Desa Abbanuangnge sebaiknya selalu diikutkan nama kecamatannya, hal ini disebabkan ada dua desa di Kabupaten Wajo yang bernama Desa Abbbanuangnge. Satu berada di Kecamatan Pammana dan satu lagi di Kecamatan Maniangpajo. Ada berbagai cerita yang melatarbelakangi pemberian nama Desa Abbanuangnge.
Dahulunya di daerah ini terdapat sebuah gunung yang bernama “Bulu Abbanuangnge”. Kata Abbanuangnge merupakan kata dasar dari kata “Wanua” yang artinya tempat tinggal. Sekitaran gunung ini dahulunya menjadi tempat pemukiman dan berbagai aktifitas masyarakat. Perkampungan yang berada di kaki gunung tersebut dinamakan “Ana’Wanua” yang artinya anak dari Gunung Abbanuangnge yang kemudian disederhanakan menjadi “Anabanua” seperti yang dikenal saat ini.
Wilayah Desa Abbanuangnge dahulunya termasuk dalam wilayah Kerajaan Kalola yang dipimpin oleh Datu Kalola sebelum menjadi daerah otonom dan masuk dalam bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Adapun wilayah Kerajaan Kalola saat itu antara lain Mattirowalie, Sogi, Abbanuangnge, Kalola, Minangatellue, dan Tangkoli. Kondisi masyarakat pada kala itu masih mengenal hukum adat dan memiliki prinsip “Tana Rigella” yakni tanah yang memiliki sistem sendiri (otonomi) yang berarti bahwa masyarakatnya tidak tunduk pada Kerajaan Wajo dan Kerajaan Luwu tapi dilindungi oleh kedua Kerajaan tersebut. Kata “Rigella” berarti pohon kayu yang dikupas kulitnya atau semacam di cangkok. Salah satu wujud dari otonomi tersebut dapat dilihat dalam pengelolaan lahan pertanian yakni masyarakat mengikuti aturan-aturan yang ada dalam buku “Tunrung Datu Kalola” yang telah tentukan oleh pihak Kerajaan Kalola.
Pada tahun 1920-1930-an wilayah Kerajaan Kalola menjadi Distrik Bawahan Kalola kemudian perkembangan berikutnya Distrik Bawahan Kalola tersebut menjadi Wanua Kalola. Pada masa ini, sebagai daerah dengan potensi lahan pertanian yang luas maka masyarakat mengelola wilayah pertanian secara bersama-sama (komunal) dan mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan secara bersama. Hingga pada tahun 1930-1940-an, saat perang bergejolak melawan Belanda, masyarakat mulai melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan cara bergerilya. Memasuki periode pasca kemerdekaan tepatnya antara tahun 1947-1949 terjadi kekosongan pemerintahan. Hal ini dipicu oleh karena Datu Kalola pindah ke Sengkang seiring dengan masa peralihan sistem kelembagaan pemerintahan di Indonesia dari kerajaan menjadi sebuah daerah yang otonom dalam sistem kelembagaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Setelah bergabung maka secara otomatis daerah kekuasaan Kerajaan yang berbentuk wanua wanua berubah menjadi desa atau kecamatan seperti sekarang ini.
Setelah kondisi keamanan mulai cukup stabil dan jumlah penduduk desa semakin bertambahnya sehingga masyarakat kembali berkumpul bermukim dan membentuk perkampungan.
Pada periode tahun 1982 sampai 1985 Desa Kalola dimekarkan menjadi dua desa yakni Desa Kalola dan Desa Mattirowalie. Adapun Kepala Desa Mattirowalie yang pertama adalah Bapak Tarincang sedangkan Kepala Desa Kalola sendiri tetap dijabat oleh Andi Gusti. Setelah berkembang dan penduduk semakin berdatangan maka pada tahun 1994, Desa Mattirowalie dimekarkan kembali menjadi dua desa yakni Desa Mattirowalie dan Desa Abbanuangnge.
Sebagai desa persiapan dan belum memiliki nama, Pemerintah Kecamatan bersama masyarakat dari desa persiapan Abbanuangnge bermusyawarah. Andi Nasrullah yang pada saat itu menjabat sebagai Camat Maniangpajo memanggil masyarakat untuk bermusyawarah menentukan nama desa dan pejabat Kepala Desa Persiapan Desa Abbanuangnge. Hasil dari musyawarah tersebut menyepakati menggunakan nama Abbanuangnge sebagai nama desa hasil pemekaran. Pada waktu itu hadir Bapak Roda sebagai Kepala Dusun wilayah Abbanuangnge dan Bapak Hafid sebagai Ketua RT dan ditemani oleh beberapa tokoh masyarakat. Nama Abbanuangnge sendiri dijadikan sebagai nama desa diambil dari sebuah nama gunung yang ada di sebelah timur Kampung Mamminasae (sekitar kampung laworong-porong saat ini) yang sudah dihuni oleh masyarakat sejak dahulu pada masa penjajahan Belanda.
Setelah penentuan nama Desa Abbanuangnge kemudian dilanjutkan dengan pemilihan Kepala Desa sementara yang menghasilkan Kepala Desa terpilih yakni Bapak Ciming yang merupakan salah satu masyarakat dari Kampung Labakka untuk menjabat sebagai Kepala Desa Persiapan. Bapak Ciming yang terpilih dengan cara aklamasi ditetapkan oleh Pemerintah Kecamatan Maniangpajo untuk mempersiapkan administrasi desa sampai didapatkan kepala desa defenitif hasil pemilihan dan membuat perencanaan pembangunan fisik di desa .
Pada awal terbentuknya wilayah Abbanuangnge memiliki batas geografis sebelah utara berbatasan dengan Tingaraposi, sebelah timur berbatasan dengan Lamata, sebelah selatan berbatasan dengan Mattirowalie dan sebelah barat berbatasan dengan Sogi dan memiliki beberapa kampung yaitu langkauttu, bulu seppang, larumpiu, mamminasae, laworong-porong, padang lappa dan labakka (lokasi I dan lokasi II). Daerah yang menjadi pusat perkampungan yaitu kampung mamminasae karena pada saat itu kampung mamminasae memiliki jumlah penduduk lebih banyak dibandingkan yang lain. Pada periode kepemimpinan Bapak Ciming, Desa Abbanuangnge sebagai desa otonom dibagi menjadi dua dusun yaitu Dusun Langkauttu dan Dusun Labakka.
Pada tahun 1995, selepas masa kepemimpinan Bapak Ciming yang sekitar kurang dari setahun maka dilakukan pemilihan kepala desa secara demokratis untuk pertama kali. Pemilihan Kepala Desa menggunakan sistem pemilihan umum. Adapun yang menjadi calon Kepala Desa pada saat itu adalah Bapak Ciming, Bapak Efendi Sentere, dan Ibu Mutmainah. Hasil dari pemilihan Kepala Desa tersebut menghasilkan Bapak Efendi Sentere sebagai Kepala Desa Abbanuangnge dengan perolehan suara terbanyak.
Jabatan Kepala Desa pertama di Desa Abbanuangnge dijabat oleh Bapak Efendi Sentere. Sedangkan Kepala Dusun pertama di Dusun Langkauttu adalah Bapak H. Roda dan Kepala Dusun pertama di Dusun Labakka adalah Bapak Jala.
Bapak Efendi Sentere menjabat Kepala Desa Abbanuangnge kurang lebih selama 13 tahun yaitu mulai dari 1995 sampai dengan tahun 2008. Periode pertama dia jabat selama 8 (delapan) tahun dan periode kedua dia jabat selama 5 (lima) tahun. Pembangunan infrastruktur desa yang dilakukan oleh Bapak Efendi Sentere selama menjabat sebagai kepala desa tidak seperti saat ini ada Bantuan Dana Desa (DD) dari Pemerintah, pembangunan di Desa Abbanuangnge dilakukan dengan keterbatasan anggaran. Selain mengandalkan dana bantuan dari Pemerintah Daerah, Pembangunan infrastuktur yang dia bangun banyak yang bersumber dari bantuan swadaya masyarakat.